Tetanus
Merupakan penyakit akut dengan manifestasi spasme otot dan gangguan sistem saraf otonom. Tetanus dapat dicegah dengan vaksinasi, oleh karena itu pada daerah dimana cakupan vaksinasi kurang, angka kejadian tetanus bisa tinggi.
Sekarang ini, kasus tetanus sudah sangat jarang ditemukan. Vaksinasi sudah mencakup hampir seluruh anak di negara2 berkembang. Di negara maju seperti inggris insiden kasus tetanus adalah 5-10 kasus per tahunnya, 75% kasus terjadi pada usia >45 tahun dan tidak ada kasus tetanus neonatorum. Berbading terbalik dengan di negara berkembang dimana kebanyakan kasus tetanus adalah tetanus neonatorum
Terdapat 4 bentuk tetanus :
a.Local -> Spasme dan rigiditas hanya terjadi pada tempat luka
b. Cephalic -> Defisit nervus kranialis (terutama nervus 7). Mortalitas tinggi
c. Generalized -> Kasus paling banyak (80%), ditandai dengan spasme dan rigiditas di seluruh tubh
d. Neonatal -> Tetanus pada neonatus
Sekarang ini, kasus tetanus sudah sangat jarang ditemukan. Vaksinasi sudah mencakup hampir seluruh anak di negara2 berkembang. Di negara maju seperti inggris insiden kasus tetanus adalah 5-10 kasus per tahunnya, 75% kasus terjadi pada usia >45 tahun dan tidak ada kasus tetanus neonatorum. Berbading terbalik dengan di negara berkembang dimana kebanyakan kasus tetanus adalah tetanus neonatorum
Terdapat 4 bentuk tetanus :
a.Local -> Spasme dan rigiditas hanya terjadi pada tempat luka
b. Cephalic -> Defisit nervus kranialis (terutama nervus 7). Mortalitas tinggi
c. Generalized -> Kasus paling banyak (80%), ditandai dengan spasme dan rigiditas di seluruh tubh
d. Neonatal -> Tetanus pada neonatus
Etiologi
Clostridum tetani. Bakteri batang gram positif pembentuk spora (Spora di terminal) dan bakteri ini bersifat anaerob serta motil. Habitatnya di tanah dalam bentuk spora. Spora Clostridium tetani mampu bertahan pada kondisi yang ekstrim dalam jangka waktu yang lama
Transmisi
Spora masuk ke dalam tubuh melalui luka terbuka (Luka laserasi dalam, luka bakar, luka tembak). Pada anak2, tetanus dapat berkembang dari otitis media. Carier gigi juga dapat menyebabkan tetanus
Patologi dan patogenesis
Bakteri ini menghasilkan tetanospasmin (Neurotoxin) [Sebuah exotoxin] yang menyerang jaringan saraf dan tetanolisin yang bersifat hemolisin,namun tetanolisin tidak berhubugan dengan manifestasi klinis pada tetanus
Tetanospasmin memiliki dasar molekul yang aktivitasnya di sinaptosoma. DI sinaptosoma terdapat gangliosida yang bertanggung jawab terhadap pengikatan toksin tetanus
Bakteri tetanus masuk ke dalam tubuh manusia dari luka (luka laserasi dalam) yang terkontaminasi Clostridium tetani atau sporanya. Setelah spora masuk, mikroorganisme berkembang biak pada tempat infeksi (otot) dan menghasilkan toksin tetanospasmin yang selanjutnya melalui saraf motorik mencapai susunan saraf pusat.
Selanjutnya toksin akan menghambat mekanisme inhibisi postsinap dengan cara menghambat pelepasan neurotransmitter GABA dan glisin. Tidak ada inhibisi post synaps menyebabkan otot berkontraksi terus menerus karena pengaruh asetilkolin. Hal ini yang membuat gambaran khas kontraksi spasme pada tetanus.
Pada beberapa kasus terdapat gangguan pada sistem saraf otonom sehingga menyebabkan gangguan pernafasan dan kardiovaskular.
Kematian akibat tetanus paling sering akibat spasme dari otot2 pernafasan yang berujung pada gagal nafas. Terapi yang aggresif diperlukan saat sudah terjadi kasus gagal nafas
Tetanospasmin memiliki dasar molekul yang aktivitasnya di sinaptosoma. DI sinaptosoma terdapat gangliosida yang bertanggung jawab terhadap pengikatan toksin tetanus
Bakteri tetanus masuk ke dalam tubuh manusia dari luka (luka laserasi dalam) yang terkontaminasi Clostridium tetani atau sporanya. Setelah spora masuk, mikroorganisme berkembang biak pada tempat infeksi (otot) dan menghasilkan toksin tetanospasmin yang selanjutnya melalui saraf motorik mencapai susunan saraf pusat.
Selanjutnya toksin akan menghambat mekanisme inhibisi postsinap dengan cara menghambat pelepasan neurotransmitter GABA dan glisin. Tidak ada inhibisi post synaps menyebabkan otot berkontraksi terus menerus karena pengaruh asetilkolin. Hal ini yang membuat gambaran khas kontraksi spasme pada tetanus.
Pada beberapa kasus terdapat gangguan pada sistem saraf otonom sehingga menyebabkan gangguan pernafasan dan kardiovaskular.
Kematian akibat tetanus paling sering akibat spasme dari otot2 pernafasan yang berujung pada gagal nafas. Terapi yang aggresif diperlukan saat sudah terjadi kasus gagal nafas
Tanda dan gejala
a. Spasme otot (Paralisis spastik bukan paralisis tipe flaccid), Kekakuan rahang (Lock jaw)
b. Trismus dan spasme otot2 wajah memberikan gambaran senyum kera (Sardonic smile) atau risus sardonicus
c. Opisthotonus / opisthotonos jika sudah generalisata
d. Gejala2 Cephalic tetanus : Jika tetanus berasal dari cedera kepala / infeksi pada telinga dan menimbulkan gangguan pada satu atau lebih nervus cranialis
Ciri khasnya adalah pasien masih sadar, biasanya tangan dalam kondisi fleksi dan kaki dalam kondisi ekstensi, bagian abdomen keras seperti papan.
Klasifikasi keparahan tetanus menurut Ablett :
a. Grade 1 (Ringan) : Trismus ringan, kaku , tidak ada gangguan pernafasan, tidak ada spasme, tidak ada disfagia
b. Grade 2 (Sedang) : Trismus sedang, rigiditas, spasme dengan durasi singkat, disfagia ringan, keterlibatan sistem pernafasan, RR >30
c. Grade 3 (Berat) : Trismus berat, Rigiditas seluruh tubuh, Spasme berkepanjangan, disfagia berat, gejala apnea, denyut nadi >120 , RR >40
d. Grade 4 (Sangat berat) : Grade 3 dengan instabilitas sistem saraf otonom
b. Trismus dan spasme otot2 wajah memberikan gambaran senyum kera (Sardonic smile) atau risus sardonicus
c. Opisthotonus / opisthotonos jika sudah generalisata
d. Gejala2 Cephalic tetanus : Jika tetanus berasal dari cedera kepala / infeksi pada telinga dan menimbulkan gangguan pada satu atau lebih nervus cranialis
Ciri khasnya adalah pasien masih sadar, biasanya tangan dalam kondisi fleksi dan kaki dalam kondisi ekstensi, bagian abdomen keras seperti papan.
Klasifikasi keparahan tetanus menurut Ablett :
a. Grade 1 (Ringan) : Trismus ringan, kaku , tidak ada gangguan pernafasan, tidak ada spasme, tidak ada disfagia
b. Grade 2 (Sedang) : Trismus sedang, rigiditas, spasme dengan durasi singkat, disfagia ringan, keterlibatan sistem pernafasan, RR >30
c. Grade 3 (Berat) : Trismus berat, Rigiditas seluruh tubuh, Spasme berkepanjangan, disfagia berat, gejala apnea, denyut nadi >120 , RR >40
d. Grade 4 (Sangat berat) : Grade 3 dengan instabilitas sistem saraf otonom
Diagnosis
a. Gejala klinis tetanus sangat khas sehingga sering kali dapat didiagnosis melalui gejala klinis saja
b. Riwayat tidak mendapat immunisasi
c. Kultur pada luka di kultur anaerobik (Meat broth, candle jar)
d. Pengecatan gram menunjukkan gambaran Drumstick appearance
e. Pewarnaan neisser untuk melihat babes ernst bodies (Metachromatic granule)
b. Riwayat tidak mendapat immunisasi
c. Kultur pada luka di kultur anaerobik (Meat broth, candle jar)
d. Pengecatan gram menunjukkan gambaran Drumstick appearance
e. Pewarnaan neisser untuk melihat babes ernst bodies (Metachromatic granule)
Treatment and management
a. Mencuci luka dengan hidrogen peroksida (H2O2)
b. Debridement pada luka
c. Tetanus immunoglobulin (TIG) atau ATS (Anti Tetanus Serum)
TIG : 3000-6000 iu IV
ATS : 100.000 U diberikan secara IM
Pada anak2 pemberian TIG/ATS disertai dengan pemberian toksoid (DPT, DT, TT)
d. Antibiotik :
Pemberian ATS sering menimbulkan reaksi anafilaksis, oleh karena itu perlu diuji dengan dosis rendah terlebih dahulu
*Ketentuan pemberian vaksin tetanus pada Immunoglobulin pada kasus trauma
b. Debridement pada luka
c. Tetanus immunoglobulin (TIG) atau ATS (Anti Tetanus Serum)
TIG : 3000-6000 iu IV
ATS : 100.000 U diberikan secara IM
Pada anak2 pemberian TIG/ATS disertai dengan pemberian toksoid (DPT, DT, TT)
d. Antibiotik :
- Penicillin : 2 x 1,5 jt unit / hari selama 10 hari , IM
- Metronidazol : 500mg setiap 6 jam atau pada anak2 30mg/kg/bb terbagi dalam 4 dosis
Pemberian ATS sering menimbulkan reaksi anafilaksis, oleh karena itu perlu diuji dengan dosis rendah terlebih dahulu
*Ketentuan pemberian vaksin tetanus pada Immunoglobulin pada kasus trauma
Pencegahan
a. Pemberian vaksin tetanus (DTaP [Kombinasi Diphteria, Tetanus, dan Pertussis]) 5 kali pada umur 2,4,6,15-18 bulan dan 4-6 tahun (Depkes)
b. Booster : Pemberian Tdap dosis tunggal pada umur 11-18 tahun. Dan 10 tahun sekali setelahnya (CDC)
b. Booster : Pemberian Tdap dosis tunggal pada umur 11-18 tahun. Dan 10 tahun sekali setelahnya (CDC)
Sumber
a. Kuliah Neurologi FKUB 2014
b. Brooks GF. Carroll KC. Butel JS. Morse SA. Mietzner TA. 2013. Jawetz, Melnick & Adelberg’s Medical Microbiology. New York : McGrawHill
c. http://emergency.cdc.gov/disasters/disease/tetanus.asp
d. Taylor AM. Tetanus. 2006. Contin Educ Anaesth Crit Care 6(3): 101-104
b. Brooks GF. Carroll KC. Butel JS. Morse SA. Mietzner TA. 2013. Jawetz, Melnick & Adelberg’s Medical Microbiology. New York : McGrawHill
c. http://emergency.cdc.gov/disasters/disease/tetanus.asp
d. Taylor AM. Tetanus. 2006. Contin Educ Anaesth Crit Care 6(3): 101-104